Pada suatu hari, ada orang kaya mengajak anaknya yang masih
berumur tujuh tahun untuk berkunjung dan menginap selama beberapa hari ke
sebuah desa. Desa itu adalah kampung halaman dari Pak Suwarta, demikian nama
orang kaya tersebut. Masa kecil Pak Suwarta dihabiskan di sana, hingga kedua
orang tuanya meninggal dan dia mengikuti kakaknya ke Kota, di Kota besar
itulah Suwarta mulai berbisnis dan meraih kesuksesan seperti sekarang ini.
Desa itu lumayan terpencil, sangat jauh dari hiruk pikuknya
keramaian kota besar. Secara sepintas,
penduduk di sana memang terlihat seperti orang miskin. Yup, selain untuk
mengenang masa kecilnya, bapak yang dikenal sangat suka melontarkan kata-kata
inspirasi itu juga ingin memberi pelajaran kepada anaknya tentang arti “kaya
dan miskin“. Ada pemahaman yang ingin ditanamkan kepada anak lelakinya bahwa
kesuksesan adalah hal yang memang sangat layak diperjuangkan. Pak Suwarta ingin
memperlihatkan kepada anaknya betapa susahnya hidup sebagai orang miskin.
Selama beberapa hari Bapak Suwarta dan anak lelakinya tinggal di rumah
temannya. Rumah itu adalah milik Pak Karto, teman dan sahabat kecilnya Pak
Suwarta. Rumah orang miskin itu sangat sederhana, berdinding papan, dan tidak
memiliki pagar. Sekitar 10 meter di belakang rumah itu terdapat sungai kecil
yang sangat jernih airnya. Sungai yang sama yang digunakan oleh Pak Suwarta
bermain air dan berenang dengan teman-temannya 30 tahun yang lalu. Di depan
rumah tersebut terdapat tanah lapang, tempat para anak-anak petani
menggembalakan ternaknya. Anak-anak juga sering bermain layang-layang di tanah
lapang itu.
Tak terasa, 5 hari telah berlalu, dan Pak Suwarta merasa bahwa sudah
cukup waktunya untuk kembali ke kota. Sembari mengendarai mobilnya, Pak Suwarta
melontarkan pertanyaan penting kepada anak kecilnya, “Bagaimana, nak? Apa yang
kamu lihat dengan keadaan di sana? Apa saja yang kamu dapatkan setelah menginap
beberapa hari di rumah Pak Karto?” Pak Suwarta berharap anaknya sudah dapat
memahami perbedaan antara kaya dan miskin.
“Waaah… Luar biasa, Yah!” Jawab anak itu. “Kita harus repot-repot
membangun kolam renang yang mahal di belakang rumah, sedangkan mereka kolam
renangnya puanjaaaaang sekali.” Anak itu melanjutkan, “Trus, halaman kita
sempit dan tidak bisa melihat apa-apa karena ada temboknya, sedangkan halaman
rumah mereka luaaaas sekali, sejauh mata memandang, bahkan bisa dipakai untuk
bermain layang-layang! Kita harus membangun taman, sedangkan mereka memiliki
taman yang buesar sekali! Kita harus antri dan membayar di supermarket setiap
kali berbelanja, sedangkan mereka tinggal ngambil aja di kebun! gak bayar!”
Sambil mengusap mulutnya, anak itu berkata lagi, “Kita harus ke luar
negeri untuk membeli lampu taman, sedangkan lampu taman mereka buanyaak
sekali. Bertaburan dan kelap-kelip di angkasa! Setiap hari bapak harus kerja
dari pagi sampai malam, sedangkan pak Karto? waah.. tiap sore dia bisa bercanda
dan main kejar-kejaran dengan anaknya! Kita harus ke kebun binatang kalo mau
naik hewan, kalo mereka? tiap hari mau naik apapun juga bisa, ada sapi, ada kerbau,
bahkan ada kuda! gak perlu bayar! Wah, ternyata kita adalah orang miskin, kita
masih kalah kaya dengan mereka, yah..”
Tidak ada jawaban, cerita motivasi, ataupun kata-kata inspirasi
yang mampu keluar dari mulut Pak Suwarta hingga mereka sampai di rumah.