Di sebelah selatan pulau Papua terdapat daerah
berawa yang eksotis, diapit oleh dua sungai besar dan gunung-gunung di sebelah
utara. Namun daerah ini sulit untuk ditinggali. Tak hanya itu, kawasan seluas
600 km persegi ini bukannya tak bertuan. Wilayah tersebut adalah wilayah
kekuasaan Suku Korowai, satu-satunya suku kanibal yang diyakini masih tersisa
hingga sat ini.
Keberadaan suku Korowai atau Kolufu ini
sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an lalu, di mana seorang misionaris
Kristen datang ke sana dan mulai hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris
ini pula lah pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa mereka, yaitu
bahasaAwyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua.
Pada tahun 1979, misionaris Belanda tersebut
mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini tinggal suku Korowai
yang telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota
suku Korowai yang masih muda.
Selanjutnya, kunjungan lain juga dilakukan
oleh Rupert Stasch, seorang antropolog dari Reed College, Oregon. Stasch
tinggal selama 16 bulan bersama suku Korowai untuk mempelajari kebudayaan
mereka. Hasil penelitiannya ini kemudian diterbitkan dalam jurnalOceania. Pada
bulan Januari - Februari 2011, timHuman Planet BBCjuga mendatangi suku Korowai
untuk mengabadikan kebudayaan mereka yang unik dalam membangun rumah.
Masyarakat suku Korowai membangun
tempat tinggal mereka di atas pohon dan disebut "Rumah Tinggi."
Rumah-rumah panggung ini didesain sedemikian rupa untuk melindungi diri mereka
dari banjir, kebakaran, atau serangan hewan liar. Dalam satu rumah panggung
biasanya tinggal satu klan. Di dalamnya, tempat tinggal mereka dibagi menjadi
dua, daerah untuk para pria dan wanita. Para peneliti menganggap suku Korowai
sebagai suku yang cerdas karena mampu membangun konsep perkampungan pada
wilayah yang sulit untuk ditinggali.
Di antara para peneliti dan antropologi yang
datang melihat suku Korowai, mungkin yang paling fenomenal adalah kunjungan
seorang jurnalis bernama Paul Raffaele yang menetap selama empat hari bersama
suku Korowai. Dalam majalah Smithsonian, Raffaele menjabarkan perjalanan empat
harinya pada bulan Mei 2006 lalu dengan jelas.
Raffaele, melaluiSmithsonianmag.commenjelaskan
bahwa meskipun masyarakat suku Korowai memiliki kebiasaan memakan
daging manusia, namun hal tersebut tak mereka lakukan setiap saat. Setiap
harinya mereka hidup dengan mengonsumsi berbagai macam hasil alam seperti sagu,
pisang, palem, pakis, dan hewan-hewan yang bisa diburu. Selain mengonsumsi
hewan-hewan buruan seperti burung kasuari, ular, kadal, rusa, atau babi hutan,
masyarakat suku Korowai juga memenuhi nutrisi mereka dengan makan larva
kumbang.
Masyarakat pemburu Korowai yang pada
kesehariannya hanya mengenakan pakaian dari dedaunan ini memiliki berbagai
macam bentuk senjata yang disesuaikan dengan hasil buruannya. Misalkan tombak
khusus untuk membunuh babi hutan, menebang sagu, atau untuk membunuh manusia.
Berdasarkan keterangan Kembaren,
pemandu wisata Raffaele saat itu, meskipun masyarakat Korowai masih memiliki
kebiasaan untuk memakan daging manusia, namun ritual ini sudah semakin
berkurang pada masyarakat Korowai yang mulai mengenal dunia luar. Masyarakat
Korowai tidak mengonsumsi daging manusia secara sembarangan. Berdasarkan
kepercayaan yang mereka anut, suku Korowai hanya membunuh manusia yang dianggap
melanggar aturan dalam kepercayaan mereka. Salah satunya jika salah seorang
warga diketahui sebagai tukang sihir ataukhuakhua.
Warga yang dicurigai sebagaikhuakhuaakan
diadili. Jika banyak bukti kuat yang memberatkannya, maka dia akan segera
dibunuh dan dimakan. Kembaren mengatakan bahwa anggota tubuhkhuakhuayang telah
mati akan dibagi-bagikan pada semua warga, sementara otaknya akan dimakan
selagi hangat. Orang yang membunuhkhuakhuaadalah yang berhak menyimpan
tengkoraknya. Bagi masyarakat Korowai, membunuh dan memakan daging manusia
adalah bagian dari sistem peradilan pidana mereka. Setelah mereka memakan habis
tubuhkhuakhua, mereka akan memukul-mukul dinding rumah tinggi mereka dengan
kayu sambil bernyanyi semalaman.
Bagi orang di dunia luar yang modern, kanibalisme
mungkin adalah hal yang sangat tak masuk akal dan mengerikan. Namun
kenyataannya, hingga saat ini terdapat sekelompok orang, salah satunya suku Korowai
yang mempraktikkan budaya tersebut. Seperti keterangan Kembaren, hampir semua
orang dalam suku Korowai pernah ikut memakan daging manusia. Jadi, bagi mereka
kanibalisme bukan merupakan hal yang tabu dan bisa dilakukan kapan saja.
Terlepas dari kanibalisme yang mereka
anut, keunikan cara hidup dan kebudayaan suku Korowai rupanya juga menarik bagi
para agen pariwisata Indonesia. Salah satunya adalah Indonesia Travel yang
menawarkan kunjungan wisata selama 12 hari untuk tinggal bersama dengan suku
Korowai. Anda akan dibawa untuk menginap bersama di rumah tinggi suku Korowai,
mengunjungi Yarinuma, memakan makanan mereka, serta ikut menjalani kehidupan
mereka. Bagaimana? Apakah Anda cukup berani untuk melewatkan 12 hari bersama
para kanibal ini?.